Sedulur Banyu

Pintu Masuk Memahami Ekosistem di Kampung
(Adin)

 

Untuk apa orang melakukan pemanenan hujan jika sumur di sekitarnya masih berfungsi? jika orang masih bisa bergantung pada yang lain kenapa repot mandiri dan peduli pada hal-hal lain? mungkin alamlah yang memberi pelajaran paling berharga. Di kampung ibu saya, dulu tidak kenal istilah rain harvesting orang secara alami memanfaatkan air hujan karena sumur-sumur berasa asin dan sumber air tawar sangat jauh aksesnya. Bisa dipastikan entah musim  kemarau atau musim hujan, kebutuhan air tawar di internal kampung tidak memadai, makanya saat hujan orang memanfaatkannya sebaik mungkin. Memori itu mungkin melekat dalam kesadaran ibu, sehingga hujan-hujan pertama di kampung ia berbasah-basah menadah air dan mengangkutnya ke kamar mandi. Hal yang semula membuat kesal kenapa harus hujan-hujanan apa tidak takut kelelahan dan akhirnya jatuh sakit. Belakangan hal ini  saya sesali ketika teringat sejarah panjang ikatannya pada air yang tidak saya pahami karena keberlimpahan sumber air di tempat saya tinggal, Bendan ngisor, Semarang.

Belakangan karena pemanasan global yang berdampak pada kenaikan permukaan air laut dan juga amblesnya tanah di sekitar pesisir menyedot perhatian banyak kalangan. Kondisi ini juga diperparah penggunaan air tanah yang cukup massif terutama di kawasan industri. Semarang, dalam hal tertentu mempunyai nasib seperti Jakarta untuk urusan air. Keterancaman turunnya permukaan tanah membuat berbagai solusi dicari. Wacana pembangunan giant sea wall dan reklamasi melalui program National Capital Integrated Coastal Development (NCIICD) di Jakarta  atau yang dikenal sebagai Giant Sea Wall dan juga jalan tol yang membentang dari Trimulyo hingga Demak mengemuka. Tak terkecuali berbagai terobosan untuk kampanye untuk mengurangi penggunaan air tanah dan memanfaatkan air permukaan.

Berbeda dengan sebelumnya, Penta K Labs II kali ini mengambil wilayah di Dukuh Randusari, Kelurahan Nongkosawit, Kecamatan Gunungpati yang secara kewilayahan masuk dalam Semarang atas. Jamak diketahui Semarang dibagi menjadi dua yakni atas dan bawah. Semarang atas  terdiri dari Kecamatan Gunungpati, Mijen, Tembalang, Banyumanik dan Ngaliyan. Nongkosawit berada di salah satu kecamatan yang disebutkan tadi. Bukannya tanpa alasan mengapa event dua tahunan (biennale) ini diadakan di sini. Sebelumnya Penta Klabs I yang mengambil judul ‘Narasi Kemijen’ fokus pada Semarang bawah dan isunya mengenai ketahanan kampung. Untuk tahun ini kegiatan ditarik ke hilir, Nongkosawit dengan judul ‘Sedulur Banyu’ yang fokus pada persoalan air dan ekosistemnya. Bicara kota sebagai satu kesatuan kedua kampung yang letaknya berjauhan ini pasti mempunyai konektivitas, meskipun tidak selalu secara langsung. Kecamatan Gunungpati masuk wilayah Sub Das Garang hulu yang berfungsi sebagai pemasok air dengan kuantitas dan kualitas yang baik terutama di daerah hilir kota Semarang. Secara umum wilayah ini mempunyai persoalan berupa lahan kritis rawan bencana gerakan tanah dan longsor. Sebaran lahan kritis ini terdapat misalnya di sekitar Kelurahan Sukorejo, Sadeng, Sekaran dan Pongangan.

Berdasarkan Perda KotaSemarang No. 14 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Semarang Tahun 2011-2031 Kecamatan Gunungpati  diperuntukkan sebagai kawasan konservasi, pertanian, dan taman hutan raya. Namun bertambahnya populasi manusia yang memerlukan ruang hidup membuat lahan ini banyak mengalami alih fungsi, yang artinya kawasan resapan ini terancam. Beberapa tahun belakangan tiap musim hujan di sekitaran Universitas Negeri Semarang dapat mudah kita temui derasnya limpahan air di jalan raya, entah karena daya serap lahannya berkurang atau drainasenya yang buruk. Pastinya jika persoalan ini tidak diatasi akan jadi bom waktu saja kelak. Sama halnya dengan perkembangan permukiman penduduk di sekitar sungai-sungai besar (Sungai Garang dan Sungai Kripik) di Kelurahan Sukorejo dan Sadeng jika tidak disikapi akan menjadi bencana juga. Beberapa poin inilah yang menjadi landasan mengapa isu air dan perubahan tata guna lahan menjadi penting untuk dibicarakan karena itu semua akan berpengaruh pada siklus air.

Lantas di manakah letak cerita rakyat dan juga kesenian dalam debat keras mengenai isu air itu sendiri? Justru melalui folklore kita bisa merekonstruksi masa lalu dan akibatnya hari ini. Di beberapa serial tulisan lain hal itu sudah diulas cukup terutama berkait dengan sejarah Randusari dan Nongkosawit. Perbedaan adat istiadat yang ternyata jika kita lacak sumbernya sekitar 500 tahun yang lalu, tradisi merawat wangan (saluran irigasi) yang hilang bersama ritual melarung atau mengubur kepala kerbau karena dianggap bidah dan lain-lain. Melalui data etnografi kita juga bisa tahu betapa tidak mudahnya mengkampanyekan ‘kebaikan’ dari atas ke bawah seperti cerita alat pemanen hujan yang di beberapa tempat di daerah Gunungpati akhirnya mangkrak karena tidak memenuhin unsur pragmatisme masyarakat. Di kawasan ini penduduk mengandalkan Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) alih-alih menggunakan air PDAM yang belum menjangkau semua wilayah. Kisah Syech Hasan Munadi dan Ki Ajar Buntit juga menjadi penanda kultural yang khas antara misalnya Kampung Nongkosawit dan Kampung Randusari. Mulanya jika kita bicara pada beberapa anak muda mereka mengatakan satu sama lain dua kampung ini sering tidak akur. Ternyata akarnya berabad lalu, maka tak heran di Randusari pendidikan dasar dipenuhi dengan Madrasah Ibtidaiyah, sementara di Nongkosawit punya Sekolah Dasar Negeri yang lebih sekuler. Tapi di tulisan saya tak akan membicarakan panjang lebar tentang temuan cerita rakyat itu karena disajikan dalam halaman yang berbeda.

Pilihan menggunakan kesenian sebagai salah satu media untuk distribusi informasi bukannya tanpa alasan. Tentu saja akan ada debat teoritik sendiri mengapa bahasa artistik yang dipilih Kolektif Hysteria seperti ini, misalnya orientasi pada proses dan bahkan artefak seni bukan hasil akhir. Karya adalah keseluruhan rangkaian kegiatan itu sendiri, tentu saja ini membutuhkan pembahasan yang lain. Yang pasti, periset dan seniman yang terlibat memang diarahkan untuk menanggapi pengetahuan lokal yang ada di kampung dan juga membawanya ke tingkat abstraktif sehingga apa yang terjadi di Nongkosawit bisa menjadi kaca benggala untuk kampung-kampung yang mungkin memiliki tipologi sama.

Seniman Merespons Situs dan Isu

Ada sekitar 13 seniman baik pertunjukan maupun visual yang terlibat dalam helatan ini. Masing-masing seniman diminta untuk merespons sejarah lokal yang sudah dikumpulkan tim riset. Pada perkembanganya tidak hanya isu air yang menjadi perhatian tetapi kompleksitas kampung itu sendiri yang kesemuanya berhubungan satu sama lain. Secara umum persiapan kegiatan untuk memperkuat konten dimulai dengan riset cerita rakyat tentang asal muasal kampung dan kondisi keseharian warga. Selain riset sejarah lisan, bekerjasama dengan Universitas Sultan Agung yang diwakili Ibu Mila Karmilah dan  Lukas Ley dari Heidelberg University tim juga menyiapkan diskusi panelis tentang isu-isu terkait. Mengenai konten diskusi akan dirilis terpisah. Tulisan ini hanya akan berfokus pada catatan kuratorial mengenai karya-karya seniman selama mereka melakukan residensi di kampung.

karya: STO

Tiga jenis karya merespons toponimi kampung. Pertama STO alias Dibyo yang membuat mural di salah satu dinding rumah dekat masjid Randusari. ‘Weling’ merupakan mural yang mengisahkan masa lalu terbentuknya Randusari dan Nongkosawit, benda ikonik yakni bedug, kubah masjid (penanda Randusari) dan bendhe (penanda Nongkosawit) yang bermula dari kisah perselisihan antara Hasan Munadi dan Ki Ajar Buntit. Kekalahan pengikut Ajar Buntit membuat mereka lari ke daerah yang sekarang bernama Nongkosawit. Kekalahan itu tak membuat proses konversi agama berjalan mulus, meski dibangun masjid dan disiapkan bedug, warga Nongkosawit masih sulit meninggalkan kepercayaan lama. Konon bedug itu akhirnya dipindah di daerah yang sekarang bernama Randusari, muasalnya saat bedug itu digantung di pohon randu besar waktu dipukul berbunyi (sari). Syiarpun berjalan mulus dan jejaknya masih terasa hingga sekarang yakni acara keagamaan di  Randusari terbilang aktif. Hingga sekarang pendidikan dasar mereka mengakomodir Madrrasah Ibtidaiyah ketimbang sekolah dasar yang dianggap sekuler. Sedangkan di Nongkosawit, tak kurang akal Hasan Munadi menggunakan bendhe (semacam gong kecil) untuk memanggil orang ibadah berjamaah. Strategi itu ternyata berhasil,  hingga sekarangpun meski mayoritas warga Nongkosawit islam tetapi mereka relatif lebih longgar terhadap tradisi lama. Tak heran jika kirab bendhe jauh lebih massif dilakukan warga Nongkosawit. Perbedaan karakter sekitar 500an tahun lalu melalui cerita rakyat ternyata bisa digunakan untuk melihat rekonstruksi sosial sampai masa kini. STO atau Dibyo menanggapi cerita itu dengan membuat mural di jalanan utama kampung sehingga semua orang dengan mudah bisa melihatnya.

Begitu pula cerita Wayang Ringit dan Wayang Angkrek yang dipandegani oleh Kang Warsono sejak awal diciptakan memang bercerita tentang babad kampung. Hal ini tentu menarik mengingat banyak toponimi Semarang hanya disimpan sebagai folklore atau buku sejarah yang jarang dibaca. Upaya pemanggungan menjadi pendekatan menarik karena seluruh elemen audio visual dimaksimalkan. Lain halnya Kuver dan Sueb menafsir ulang penggalan kisah ini dengan menggunakan medium teater dengan aktor para pemuda dan pemudi karang taruna Randusari. Kuver atau Aristya Kusuma Verdana yang berlatar belakang teater dan Sueb Andy seniman visual dan juga bermain dengan musik eksperimental membuat pertunjukan menjadi cukup mistis. Latihan tidak perlu terlalu lama, tidak lebih dari sebulan para aktor kampung sudah cukup apik menguasai panggung dan melakukan improvisasi.

Karena tanggap ruang, sudah barang tentu festival ini menggunakan ruang -ruang yang tersedia di kampung, mulai dari pos jaga, rumah pembenihan yang sudah terbengkalai, teras, garasi, jalanan di kampung, dan apapun yang bisa digunakan untuk memajang atau tempat pementasan. Karenanya respons tak hanya isu tetapi ruang juga menjadi penting. Seperti yang ditunjukkan oleh Cut and Rescue, kolektif seni dari Jakarta ini menggunakan pos jaga untup presentasi karya mereka berupa video. Berjudul ‘Essence of Kapok: the Breeder’ Cut and Rescue (CnR) bergaul dengan para peternak sapi perah yang tiap hari berada di pos jaga tersebut untuk mengawasi puluhan sapi perah di sana. Keberadaan ternak sapi perah pada eranya dianggap potensi wisata dan sebelumnya telah dibranding bagian dari destinasi wisata kampung. Namun objektivikasi ini tak jarang membuat para peternak tidak nyaman. CnR berusaha masuk, memahami kesalahpahaman dan mengikuti ritme kerja peternak yang ada di sana yang disajikan dalam bentuk video dan respons atas ruang di sana. Setelah  sebelumnya bersama dua kampung lain yakni Wonolopo dan Kandri ditetapkan sebagai desa wisata, Nongkosawit mulai melakukan pemetaan potensi dan salah satunya produksi susu perah. Para peternak yang sering merasa dimanfaatkan mengeluh aneka kunjungan tidak memberi benefit langsung secara mereka. Pengalaman saya sewaktu memasuki area peternakan lainnya warga ada menanyakan maksud kehadiran kami. Karena malas menjelaskan, kami mendaku mahasiswa KKN dan spontan salah satu warga lain berteriak dari kejauhan “Ah teori!” katanya. Tak ayal hal ini membuat tim kaget tapi kira-kira seperti itulah penerimaan awal terhadap orang lain karena kesalahpahaman bertahun-tahun. CnR selama beberapa hari tak hanya nongkrong di pos jaga tetapi juga ikut warga mencari pakan ternak dan bergaul dengan mereka. Hasilnya kemudian dinarasikan ulang menggunakan video yang diputar di pos jaga mereka.

Tries Supardi dengan ‘Video Home’ sedikit berbeda perspektif dengan CnR. Daripada mengurai masalah, Tries mengajak warga untuk berlatih mempromosikan kampung dengan membuat video sederhana. Tries sendiri juga membuat pameran foto dan video di halaman rumah warga yang menggambarkan aktivitas keseharian warga di kampung. Masih tidak jauh dari areal peternakan sapi perah, Demak Komunal memaksimalkan rumah pembenihan yang sekarang mangkrak menyulapnya menjadi galeri. Demak  Komunal mengecat ulang rumah tersebut dan memberinya lampu pameran supaya lebih artistik. Pos jaga yang tak jauh dari rumah pembenihan juga digunakan untuk ruang pamer juga. Karya yang dipajang adalah hasil workshop mereka di MI Raudhatul Athfal, Randusari, Nongkosawit. Berjudul ‘Ruang Sempit’ selain secara fisik bisa kita lihat sebagai ruang yang benar-benar sempit juga dimaksudkan secara metaforik imajinasi anak-anak dalam memahami kampungnya yang mempunyai batas-batas wilayah geografis tertentu. Hasilnya berupa penggambaran kampung secara sederhana. Bagi Demak Komunal upaya mengenali kampung akan lebih mudah dengan mengandalkan elemen visual. Upaya untuk melibatkan keragaman penduduk dimaksudkan supaya festival akomodatif terhadap berbagai kalangan tak terkecuali anak-anak.

karya : Valeri dan Christina

Strategi serupa juga ditempuh Valeriana Grajales (Kolombia) dan Cristina Rodriguez (Meksiko) yang memilih bekerja bersama para siswa di SDN Nongkosawit 01 dan SDN Nongkosawit 02. Kedua seniman residensi ini mengajak siswa untuk mengidentifikasi spesies baik hewan maupun tumbuhan yang ada di kampung. Beberapa jenis ikan dan buah-buahan hadir dalam karya tersebut sebagai upaya untuk memantik kesadaran anak-anak terhadap lingkunganya dan disajikan ulang dalam mural berjudul ‘Spesies’ di tembok madrasah ibtidaiyah di sana.

Merespons isu air Andi Ramdani (Yogyakarta) sajikan ‘Air yang Tumbuh’ idenya ia membuat keran raksasa tinggi sekitar 3 meter dengan diameter 8 centi meter yang diletakkan menghadap ke sendang. Persoalan air di Kelurahan Nongkosawit memicu keprihatinan sendiri bagi Andi. Meski dulunya berlimpah sendang dan mata air faktanya Nongkosawit mengalami kekurangan air di musim kemarau. Instalasi berupa keran air menggunakan bahan bambu ingin mengingatkan masyarakat agar hemat terhadap penggunaan air mengingat kelangkaan di musim kemarau. Menariknya bagian instalasi yang mayoritas terbuat dari bambu itu terdapat bibit bambu yang ditanam bersamaan karya yang diharapkan kelak bertumbuh, seperti harapan terhadap kondisi lebih baik untuk mengakses air. Amatan berbeda mengenai air disajikan Gerakan Seni Rupa Bogor (GSRB) dalam ‘Kios Urip Nongkosawit’.

GSRB dalam beberapa minggu terakhir mencoba menjelajahi wilayah Randusari dan Nongkosawit melalui wangan (saluran irigas). Dalam perjalanannya itulah GSRB menemukan beberapa hal yang menarik yang akhirnya dijadikan oleh-oleh atau souvenir khas desa. Selain oleh-oleh yang jadi khas pariwisata, GSRB juga melalui video menemukan hal yang cukup mengkhawatirkan misalnya sempadan saluran irigasi yang kritis jika tidak segera diatasi tak pelak akan jebol sehingga aliran air akan kembali ke Sungai Gribig. Sempadan sungai itu sendiri dulunya bisa dilewati mobil namun sekarang karena difungsikan untuk areal persawahan di sekitar situs, sekarang hanya bisa dilewati motor dengan kondisi yang mengkhawatirkan. Apa yang dipotret GSRB merupakan suatu fenomena lain yang merupakan paradoks desa wisata itu sendiri.

Masih seputar air dan sendang, Direct Performance Up, suatu kelompok seni performans yang barusan tumbuh di Semarang memilih untuk aksi ‘Rumat’ di sekitaran sendang. Idenya mengenai manusia sebagai makhluk yang paling berkuasa di bumi bisa menentukan apa saja untuk berfungsi sesuai keinginannya. Lambat laun bumi kehilangan kekuatan maupun sumber dayanya untuk menopang kehidupan. Sampah-sampah yang dihasilkan manusia, kemajuan teknologi yang tidak berbanding lurus dengan kelestarian alam seisinya akhirnya akan merusak dan meniadakan semua penghuni bumi. Bagus Taufiqurrahman sebagai kepala suku Direct Performance Up memfokuskan karyanya di dalam sendang dan meminta partisipannya untuk berendam di dalam sendang dan menggambarkan adegan chaotic tersebut secara teatrikal. Adapun FJ Kunting, seniman dari Yogyakarta ini melakukan performance art sendirian dengan judul ‘Ringin Gendong’.  Kunting terinspirasi cerita warga setempat, tentang keberadaan sendang yang dulu tak pernah kering. Sejak pohon beringin di sendang hilang, debit air di sendang tak pernah melimpah seperti dulu lagi. Sangat wajar, karena beringin adalah bank air. Saat hujan, akarnya bisa menyimpan air kemudian mengeluarkannya saat kemarau. Selama berproses di kampung Kunting menemui fenomena keengganan warga menanam pohon non buah. Selain itu, tertangkap pula ketakutan warga jika di sekitar sendang ditanami pohon beringin akan membuat suasana di sekitar jadi angker. Kunting berkeliling kampung mengetuk pintu rumah dan menghampiri orang-orang yang ia temui, memperkenalkan diri dan meminta izin untuk menanam beringin di sendang.  Melalui proses ini, Kunting mencoba memanggil kembali ingatan mereka tentang pohon beringin yang dulu pernah menjadi bank air bagi sendang (mata air) warga di sana. Beringin yang digendong membuka ingatan warga hingga membawa pada perasaan di masa lalu (senang pada air yang melimpah, sekaligus takut pada jin yang konon menunggu beringin) berbagai perasaan tersebut mewujud lagi pada perasaan was-was jika ada lagi beringin yang ditanam di sendang.

Sementara itu kontestasi air ditampilkan Wayang Tenda dengan lakon ‘Berburu Sendang di Luar Angkasa’. Saat kehidupan di bumi tak lagi layak ditinggali perburuan demi perburuan dimulai. Tak terkecuali mata air. Sumber utama kehidupan. Dalam perburuan itu ternyata manusia bukan makhluk satu-satunya.

Di angkasa terdapat berbagai macam makhluk yang juga membutuhkan air. Lalu pertarungan dimulai. Cerita ini disajikan secara enteng oleh Wayang Tenda yang memang dalam kebanyakan lakonnya diperuntukan bagi anak kecil. Seniman lain yang bekerja bersama anak kecil yakni Widyo ‘Babahe’ Leksono yang mengajak anak-anak kecil menghidupkan kembali dolanan anak masa lalu alih-alih bersuntuk main gawai. Apa yang direspons Babahe begitu juga seniman terakhir yang saya ulas setelah ini yakni Riska Farasonalia tidak selalu dan tidak harus merespons isu air, namun fenomena keseharian juga butuh tempat untuk dinyatakan.

Jika Babahe punya kekhawatiran jaringan sosial pasca gawai, Riska memilih bekerja di dapur Bersama ibu-ibu PKK di Nongkosawit yang dianggapnya kurang mendapat tempat. ‘Memasak Bunyi Dapur’ adalah Rekam suara dalam eksperimentasi dan improvisasi bunyi bersama ibu-ibu dengan merespon suara aktivitas memasak di dapur dengan berbagai jenis alat dapur seperti memotong cabe dan bawang di atas telenan, menumbuk bumbu menggunakan lumpang, memarut kelapa dengan parutan, menggoreng ikan menggunakan wajan, merebus air menggunakan teko, memotong singkong dengan alat mesin pemotong, membuat jus buah menggunakan blender lalu kesemuanya dikolaborasikan dengan instrument mainan tradisional seperti rebana, gamelan kecil, tamborine, caracas, seruling bambu, cowbelt, snare drum, dan sebagainya. Dimasukkan pula bunyi gemericik air ketika ibu mencuci, ada juga ketika menyapu di awal rekaman.

Kemudian berlanjut secara spontan ibu-ibu tersebut saling merespon suara satu dengan yang lainnya. Riska berusaha membuat aktivitas domestik ibu-ibu rumah tangga yang seringkali dianggap tidak bekerja menjadi aktivitas bunyi artistik. Bebunyian itu sendiri adalah representasi dari kerja rumah tangga yang tidak kalah berat dibanding kerja-kerja kantoran seperti lazimnya wanita karir.

Selain karya seniman undangan yang dipajang, ada juga karya warga menyambut maulid nabi. Benda-benda ini diarak keliling kampung setiap setahun sekali dengan bentuk yang berbeda sesuai kreasi masing-masing RT. Ratusan warga berkumpul, menyalakan obor dan lampu beriringan berjalan kaki dan ada juga yang menggunakan kendaraan memperingati lahirnya Nabi Muhammad. Beratus tahun lalu Islam masuk ke kampung ini dan meninggalkan berbadai artefak relijius yang semangatnya selalu dirayakan tahunan. Dalam semarak kirab warga artefak ini bisa berupa patung unta, kakbah, mushola, ondel-ondel dan banyak lagi yang lain. Artefak ini bersama karya seniman lain dipajang membentuk pola melingkar mengeliling beberapa sisi kampung seluas kira-kira 1,5 hektar.

Seni Memberi Solusi?

Tentu saja buat saya sendiri hal ini bukan tujuan utama karena hal semacam itu seringkali membuat proses kekaryaan menjadi beban yang teramat. Tidak jarang kita mendengar keluhan mengenai bertahan dan berkarya saja susah alih-alih menyelamatkan yang lain. Tapi mengatakan bahwa karya seni tidak memberikan apa-apa juga tak kalah menyesatkan dan menyepelekan upaya. Amatan berkecimpung dalam problem kampung, yang saya hadapi kerap masyarakat kita miskin imajinasi.

Tak heran dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) dari tingkat RT hingga kota, pembangunan hanya berkisar pada perbaikan fasilitas umum dan pelatihan-pelatihan yang tidak mengerti situasi lokal. Seni memberikan jeda pada realitas yang mengalir terus-menerus untuk memikirkan ulang fenomena keseharian yang mekanis. Termasuk upacara-upacara itu yang kembali mengangkat nilai-nilai yang usang karena kesibukan menafkahi keluarga. Perayaan dalam Penta KLabs ini hendak memberi sudut pandang lain dalam membaca kampung tidak hanya melalui cerita rakyat tetapi juga pengetahuan keseharian yang dianggap biasa saja.

Kehadiran karya dan aktivisme yang massif di Nongkosawit memberi sedikit disrupsi pada realitas. Maka bisa kita saksikan gudang pembenihan dan pos kamling jadi galeri, halaman rumah menjadi panggung pertunjukan, dan orang yang berbondong datang ke kampung melihat ulang dirinya sebagai sesuatu yang punya nilai dan istimewa. Di samping itu festival ini juga menyingkap ketegangan antar warga terhadap brand kampung wisata yang ternyata masih kosong kontennya itu serta frustasi warga menghadapi pemerintah yang memberi titah tapi tuna program. 

Karya : Andi Ramdani

Mengamini Pierre Bourdieu yang membawa teori modalitas tidak hanya ekonomi tetapi juga kultural, sosial, dan simbolik sejatinya event-event seperti ini memperkaya siapapun yang terlibat dengan tiga modal terakhir yang kemudian di dalam arena (wilayah tempat modal-modal ini dipertukarkan) digunakan sebaik-baiknya untuk mobilitas sosial. Tidak heran di beberapa tempat berlangsungnya festival (misalnya Bustaman, Kemijen, dan sekarang Nongkosawit) beberapa tokoh politik hadir, sponsor tertarik, dan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya bisa menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri.

Bagi saya jauh lebih penting lagi bukan event ini sendiri melainkan apakah seluruh proses ini bisa mengayakan para aktor yang terlibat untuk memaksimalkan potensi mereka sehingga kapasitas yang berkembang bisa digunakan untuk mengadvokasi dirinya. Dalam konteks kota, mampukah warga menggemakan dirinya sebagai bagian dari kota yang turut berkontribusi terciptanya kota yang berkelanjutan. Tentu ada resiko seni hanya menjadi alat. Justru ketegangan antara menjadi alat dan mencari hasrat estetika inilah diskursus yang tidak bisa diabaikan yang barangkali bisa mengayakan banyak pihak.

karya: Demak Komunal

Seni Rupa Kontemporer, Ekosistem Gagasan, dan Konteks Kota Pinggiran

Bagaimana seni rupa kontemporer Indonesia sebagai sebuah gagasan diterima, diadaptasi, dan diamalkan dalam konteks kota-kota yang selama ini dianggap tidak signifikan masuk dalam medan kultural dan wacana? Setidaknya dalam timeline sejarah seni rupa Indonesia yang disusun Enin Supriyanto dalam ajang Europhalia, juga Rencana Pengembangan Seni Rupa Nasional 2015-2019  yang disusun oleh Mia  Maria, Asep Topan, dan Dila Martina Ayu, kota-kota yang dianggap representasi seni rupa  Indonesia hanya didominasi Jogjakarta, Bandung dan  Jakarta. Dalam kondisi seperti ini bagaimana posisi kota-kota non arus utama dalam menentukan strateginya atau lebih spesifik lagi bagi para pelakunya entah itu personal maupun komunal.

 

Sebagai sebuah kelompok Kolektif Hysteria dideklarasikan sejak 11 September 2004, namun baru tahun 2006 akhir intens terlibat dalam event-event seni rupa maupun lintas disiplin lainnya. Seni rupa kontemporer sebagai sebuah gagasan bukan suatu yang dipelajari dalam bangku perkuliahan namun dari akumulasi pertemuan, diskusi, melihat, praktik, pengetahuan sepotong-potong dan diamalkan dalam arus waktu. Term art project menjadi hal yang lumrah saat itu untuk menyebut praktik-praktik kesenirupaan yang menekankan rangkaian proses dari  pada  hasil akhir berupa artefak seni saja. Kolase gagasan dan ketiadaan standar penilaian inilah yang membuat arena bermain menjadi menyenangkan untuk dieksplorasi sebagaimana kolektif-kolektif seni lain di Indonesia yang saat itu tumbuh. Keluhan soal minimnya sokongan ekosistem tidak membuat kolektif seni di berbagai tempat patah semangat apalagi booming seni rupa tahun 2008an membuat gairah ini meluap-luap. Pertemuan ruang alternatif dan kolektif seni dalam ajang FIXER di Jakarta tahun 2009 menandai semangat baru berbagai strategi coba disiasati alih-alih mengutuk infrastruktur seni di masing-masing kota. Setelah pasar melakukan koreksi baru satu persatu kolektif-kolektif ini berguguran atau mati suri. Kolektif Hysteria yang tidak masuk dalam bagian pemetaan itu berhasil bertahan hingga  sekarang. Justru kehadirannya yang tidak di sini maupun tidak di sana menyisakan pertanyaan besar komunitas ini mahluk apaan.

 

Tuduhan soal kelompok yang tidak spesifik menyeruak, karena lazimnya komunitas seni itu mengambil bentuk yang khusus. Kita tahu Mes 56 adalah kelompok yang focus pada fotografi, Garasi khusus teater, House of Natural Fiber dan Lifepatch new media ddengan citizen science, Ruangrupa dulunya dikenal seniman yang mengolah video. Bentukan-bentukan yang spesifik itu seolah menjadi satu-satunya model jika kolektif seni ingin sukses masuk dalam medan. Hysteria gagal diidentifikasi karena barangkali tidak pernah menjadi kelompok yang spesifik. Belakangan justru bentukan yang spesifik ini saya pertanyakan mengingat di kota-kota yang struktur seninya masih sederhana seseorang harus siap menjadi amatir. Seniman, makelar, kolaborator, tukang sebar undangan, dokumentasi, tim display, dan juga marketing! Tidak ada dan tidak pernah ada museum yang memadai di kota-kota seperti Semarang. Aneka keluhan tentang perlunya penulis kaliber nasional, curator andalan, media seni, dan banyak lagi rantai infrastruktur seni itu berlangsung sejak lama. Seolah hanya dengan melengkapinya kita akan sampai pada status yang sama. Ini baru Semarang, coba bayangkan kota-kota lain seperti Demak, Kendal, Cirebon, Pasuruan, Kediri, dan banyak lagi yang lain. Sejak tahun kapan kota-kota ini dianggap selalu kekurangan sehingga tidak ada yang menarik yang bisa dibaca  dari teman-teman yang aktif di daerah. Jangan-jangan bukan seluruh kekurangan ini penyebabnya tetapi kacamata bacanya yang salah.

Teori-teori evolusi kebudayaan seolah mensyaratkan perubahan itu selalu gradual dan selangkah demi selangkah. Dari A ke B ke C ke D dan seterusnya. Orang lupa modernisme, postmodernism dan isme-isme lain datang ke negara dunia ketiga hampir bersamaan. Disrupsi di mana-mana, dan seolah dalam pemahaman orang di daerah untuk mencapai posisi sama dalam relasi kuasa haruslah menempuh tahapan yang gradual. Harus punya galeri, museum seni, kritikus, institusi seni, media, kolektor dan lain-lain untuk mencapai masyarakat seni yang paripurna. Orang lupa politik di Indonesia adalah panglima, membayangkan kota-kota kecil memiliki itu semua dan mengabaikan proses politik yang seringkali membuat depresi buat saya hanya buang-buang waktu apalagi usia kita semakin bertambah. Dalam relasi kuasa yang timpang, bagaimana seni rupa kontemporer Indonesia diamalkan terutama oleh kota-kota kecil yang selalu menanggung ketidaksempurnaan infrastruktur. Tentu jika kita menganut standar aneka ISO seni kontemporer dunia silakan saja politik representasi yang dimainkan puluhan tahun diteruskan. Tapi dalam konteks bernegara dan keindonesiaan, pandangan yang bias ini tidak hanya akan memiskinkan praktik yang sedang berkembang tetapi juga menghamburkan anggaran jika berdasar data dan penilaian yang tidak mengenal konteks. Alhasil bisa saja program yang diinisiasi negara berupa pemberadaban a la semangat modernisme dalam selera tunggal.

Karya : Isror Media Legal, yang merespon sejarah Kampung Kemijen, yang terhubung dengan sejarah kereta api. Pada Penta K Labs I. 2016.

Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan yang ditulis oleh Tjetjep Rohendi Rohidi adalah telaah yang baik tentang bagaimana ungkapan estetika suatu kelompok masyarakat tertentu  tak bisa dipisahkan dari medan kultural ia tumbuh. Tak heran dalam simpulan Rohidi seni di Kabupaten Kendalini mencirikan ekspresi seni yang cepat saji, durasi terbatas, orientasi uang, dan juga mudah sekali beradaptasi. Di dalam budaya kemiskinan nilai-nilai itu diadopsi dan dianut masyarakat pemeluknya dan kalau perlu distansmisikan alhasil jadilah ekspresi artistick yang dianggap rendahan dan murahan. Kita tentu bisa berdebat panjang soal perbedaan nilai seni tinggi dan rendah dan bagaimana mempunyai kekuatan tersendiri. Pembacaan yang menarik justru saat kita melihat ekspresi artistic berelasi dengan medan budaya yang hidup dan dihidupi pemeluknya. Dalam konteks ini pembacaan memakai kaca pandang antropologis lebih memadai daripada menggunakan teori seni itu sendiri yang mendekati dari segi bentuk, meskipun ada juga  teori tentang estetika relasional. Di dalam relativisme kebudayaan, tidak ada puncak-puncak kebudayanan tetapi satu dan yang liyan bersanding dalam medan yang sama masing-masing memberikan kontribusi. Cara pandang seperti ini mungkin sulit menggeser system nilai yang stabil berpuluh tahun, namun saya rasa perspektif ini bisa mengayakan dan jadi alternative bagi kota-kota kecil yang tidak pernah dianggap signifikan dalam medan budaya.

 

Lalu apa yang terjadi jika nilai dominan terus menerus dipaksakan? James Scott meriset cukup baik para petani miskin di daerah Sedaka, Malaysia dalam Senjatanya Orang-orang Kalah. Tidak lagi mengangkat senjata atau seruan-seruan massif, justru sikap masa bodoh, ignorant, menggunjing, dan enggan berpartisipasi menjadi penghambat nyata atas slogan-slogan pembangunan. Mereka tidak pernah merasa menjadi bagian dari gerakan tersebut, jadi apa untungnya? Dalam kondisi demikian perbaruan cara berkomunikasi mesti dicapai banyak pihak. Itu jika masih  memandang seni rupa kontemporer benar-benar membumi di Indonesia tidak sekedar privilege beberapa kota saja.

 

Penta Klabs, Sites Specific Art Project Biennale

(Biennale a la Kolektif Hysteria)

 

Hysteria mulai menyadari akan keberadaannya  dalam medan ini sebetulnya belumlah terlalu lama. Dimulai dari tahun 2012 ketika nyaris seluruh anggota kolektif lulus kuliah dan paham bahwa tidak ada uang yang bisa dihasilkan dari aktivisme kesenian saat itu. Pilihannya adalah berhenti  atau melanjutkan, namun kalaupun melanjutkan atas dasar apa? Kesadaran tentang ruang kota sebenarnya dipicu oleh studi-studi partikelir karena berhubungan dengan banyak NGO, misalnya dengan LBH Semarang, Rujak Center for Urban Studies, Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Semarang, LBH Apik dan banyak lagi yang lainnya yang membuat sejak lama Hysteria tidak pernah melulu berurusan dengan produksi artistic. Riset di Tugu dan Bustaman adalah titik balik dalam melihat fenomena perkotaan dan eksistensi komunitas. Saya sadari meski sejak 2008  sudah menginisiasi program di kampung dan terlibat acara kampung, namun sebenarnya kami tidaklah benar-benar paham kampung berikut kehidupannya. Kami mulai mempertanyakan kerja-kerja kesenimanan.

 

Debat tentang peranan seni apakah untuk melayani masyarakat atau untuk kepentingan seni itu sendiri sudah berlangsung sejak lama. Di Indonesia sendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan kelompok Manifes Kebudayaan (Manikebu) berdebat sengit tentang hal itu. Gerakan turun ke bawah (turba) yang diinisiasi LEKRA mendorong seniman untuk menghayati peranannya dalam kebudayaannya, utamanya mencari identitas keindonesiaan dan juga kebergunaan karya. Sementara Manikebu yang didorong oleh semangat Surat Kepercayaan Gelanggang merasa menjadi bagian dari kebudayaan universal yang tidak tersekat-sekat pada kepentingan politik praktis. Debat ini terhenti di tengah jalan karena peristiwa berdarah G 30 S / 1965 yang menempatkan PKI sebagai satu-satunya terdakwa. LEKRA yang dituduh berafiliasi dengan ideologi komunisme dan dekat dengan PKI dibabat habis. Setelah kekuasaan Orde Baru mantap mulailah dilakukan normalisasi kehidupan kampus. Masa bulan madu Orde Baru dan mahasiswa berakhir  setelah peristiwa Malari tahun 1974. Waktu itu mahasiswa menolah investasi dari pemerintah Jepan. Aksi yang berakhir ricuh itu menyebabkan dikeluarkan aturan mengenai normalisasi kehidupan kampus atau  Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).

 

Aktivisme seni termasuk kena imbasnya yang ingin dijauhkan dari realitas politik. Di sisi lain terjadi banyak inovasi dalam bidang lain mengenai estetika misalnya dalam teater Bulan Bujur Sangkar nya Iwan Simatupang, dalam tari ada puisi konkretnya Sutadji Calzoum Bachri, Danarto dll. Namun demikian bukan berarti tidak ada perlawanan. Dalam medan seni rupa terjadilah peristiwa Desember Hitam yang pada perkembangannya menjadi Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) yang akomodatif terhadap ekspresi lain tidak hanya berpaku pada dwi atau trimatra saja. Bentuk-bentuk ekspresi artistic lain mulai dicoba, salah satunya  Moelyono yang terkenal dengan project seninya bernama ‘Kesenian Unit Desa’, yakni aktivisme kesenian di daerah Tulung Agung yang prosesnya ingin dipresentasikan dalam ujian S1 di ISI Gampingan saat itu. Presentasi itu ditolak mentah-mentah namun jadi jalan ideologis Moelyono untuk mengembangkan Seni Penyadaran hasil pergulatannya dengan realitas sehari-hari yang dihadapinya di kampung dengan gagasan-gagasan Paulo Freire.

 

Menjelang runtuhnya Orde Baru, makin banyak komunitas yang tumbuh. Happening dan performing art nyaris selalu hadir dalam momen-momen demonstrasi. Taring Padi salah satu yang mengusung jenis kesenian demonstrative ini di Jogjakarta. Tahun 1990 an juga menandai lahirnya banyak kolektif seni di Indonesia, termasuk kelompok-kelompok yang terbentuk di awal tahun 2000an banyak yang terpapar dari euphoria menumbangkan rezim orde baru. Tak lama setelahnya undang-undang otonomi daerah disahkan dan imajinasi musuh bersama di pusat ikutan runtuh. Otonomi daerah membuat daerah leluasa mengambil kebijakan dan tak jarang menciptakan raja-raja kecil. Celakanya  kesadaran terhadap konteks yang lebih local sepengamatan saya sepanjang tahun-tahun 2004-2012 tidak banyak tumbuh di komunitas seni. Narasi kekejaman Orde Baru hadir tidak secara langsung karena generasi saya tidak mengalaminya secara langsung apalagi di kota kecil semacam Rembang tempat saya bertumbuh. Hal itu tentu saja membuat persepsi mengenai rezim, modus Gerakan punya  variannya sendiri. Di sisi lain, Dadaisme yang diusung Duchamp yang mendapat resonansi besar dalam Gerakan Fluxus turut mengayakan kolase gagasan yang saya serap dari manapun. Termasuk social sculpturenya Beuys terutama proyek dia di Kassel dalam ajang Dokumenta. Perluasan seni sebagai praktik dalam masyarakat yang menciptakan dampak dan memahat struktur social dan kota itu sendiri memberi arah yang segar atas apa-apa yang akhirnya diiisiasi Hysteria. Orisinalitas sejak ready made masuk ke galeri sudah tidak menjadi signifikan lagi ditambah absennya otoritas estetik akademik membuat siapapun menjadi siapapun. Hal itulah yang saya sukai dari seni rupa yang kebebasannya bahkan mendekati banal. Tapi apapun itu ide-ide itu relevan dengan kegelisahan kami mengenai praktik kebudayaan apa yang sekiranya pas dengan kapasitas kami dan dalam konteks di mana kesenian kami hidup di dalamnya, Semarang.

 

Kalau mau jujur, Semarang hanya  punya satu galeri seni berwibawa yakni Semarang Contemporary Gallery (biasanya disebut Galsem). Meski punya kampus seni, sangat jarang nama-nama yang ada saat ini dibicarakan dalam medan wacana. Rumah Seni Yaitu (RSY) yang aktif sejak 2005-2010 awal menjadi oase anak muda yang menginginkan praktik-praktik yang lebih beragam. Masa hidupnya  yang  singkat memungkinkan banyak orang seperti saya menimba ilmu dan jaringan dan membentuk gagasan jenis seni apa yang hendak kita peluk. Setelah tutupnya Rumah Seni Yaitu praktis hanya Galeri Semarang yang rutin menghelat pameran. Sebagai galeri komersil tentu saja mereka punya standar sendiri sehingga perupa di Semarang yang dianggap belum layak ‘jual’  minim sekali punya kesempatan berpameran di sana. Saya sendiri tidak mengambil pusing fenomena hal tersebut. Kami mulai membaca ulang kapasitas dan sumber daya yang kami miliki. Seni-seni di kampung sebagai manifestasi gagasan yang berkelindan tersebut perlahan-lahan kami eksekusi dan mencari format paling pas. Jadilah Tengok Bustaman I (2013) dan Tengok Bustaman II: Bok Cinta Project (2015). Modal ini membuat Hysteria menginisiasi model serupa tapi menggunakan situs atau kampung yang selalu berpindah-pindah. Biennale art project pertama kami helat dalam program bernama Penta KLabs.

 

 

Penta  KLabs atau 5 K yakni pertemuan antara kamu/ kami/ kita- kelas- kampus- komunitas/ kampung- kota. Sites specific art project biennale ini menggunakan suatu tempat tertentu untuk melaksanakan programnya dengan isu yang khusus pula. Tahun pertama tahun 2016 dihelat di Kemijen, Semarang  Timur dengan focus pada isu ketahanan kampung. Hysteria melakukan riset etnografi dan menggunakan data  ini untuk direspons oleh seniman undangan. Para seniman akan tinggal dan menjalani residensi selama bebrapa hari atau minggu dan membuat karya bersama warga di situs tersebut. Kerjasama dengan Prodi Perencanaan Wilayah Perkotaan (PWK) Unissula kami menerima paper berkait isu yang sedang diangkat dan dipresentasikan di kampung tersebut.  Template itulah yang kami kembangkan di beberapa kampung lain dengan jenis isu yang berbeda-beda. Tentu tidak semua dipenuhi tetapi kurang lebih pendekatannya sama. Hal itu bisa dilihat dalam project lain misalnya Nginguk Githok (Rembang), maupun Festival Bukit Jatiwayang (Semarang). Saya juga tidak ingin terjebak dalam sejarah Semarang sebagai kota besar sementara kami sendiri tidak pernah terlibat event skala besar dalam konteks kota. Alih-alih terbebani dengan sejarah Semarang, Hysteria  melakukan pendekatan yang spesifik dan intensif. Berbeda pula dengan kolektif seni perlawanan, pintu masuk ke situs adalah potensi jadi bisa memberikan vibe positif. Hal ini yang mungkin membedakan dengan seni-seni partisipatif lain yang diusung beberapa kelompok di Indonesia yang masih banyak memperlakukan masyarakat sebagai laboratorium semata tapi tidak menjadi bagian dari mereka. Masyarakat basis inilah yang membuat aktivisme Hysteria baik pada saat berfunding atau tidak tetap jalan.

 

Kelindan kami dengan berbagai isu kota dan konteks-konteks local membuat Hysteria belajar situasi politik local dan cara menautkannya dengan isu global lainnya. Pembacaan terhadap konteks sepertinya mudah namun layer-layernya menjadi banyak ketika  hendak meretas relasi kuasa. Pecah telur pertama sebagai kelompok seni rupa kontemporer dari Semarang yang berhasil residensi di Jerman tidak lepas dari strategi pembacaan terhadap konteks global yang ditarik ke local. kami sadar tidak pernah gampang misalnya rebutan dana dari Ford Foundation, Hivos, bahkan Djarum untuk isu-isu spesifik kesenian, karena relasi power itu nyata dan tidak mudah untuk ditaklukkkan. Di sisi lain ada juga program-program yang memanfaatkan dana dari kelurahan setempat atau iuran warga seperti di Sekararum atau dalam Tengok Bustaman IV. Sementara kita tahu dunia seni kontemporer kita masih banyak yang bercerai dengan negara atau tidak berkait langsung dengan urusan kemasyarakatan, Penta KLabs mengambil peluang untuk meluaskan konteks seni dalam masyarakat dan terutama di kota-kota yang infrastrukturnya blangsak.

 

Celakanya model pembacaan terhadap fenomena ini masih didekati dalam kategori bentuk. Hal ini membuat apa yang diupayakan dalam Penta KLabs sering dianggap sebagai turunan atau lebih parah jiplakan dari bentuk-bentuk yang ada, misalnya apa yang sudah diinisiasi oleh Moelyono. Atau sering juga disebut cara-cara LSM mengakali dana kesenian. Padahal nyaris dari 2004-2017 hanya 15 % dana kami dapat dari sector seni. Sisanya dari crowd funding dari sisa saving mengakali program-program non seni yang selalu bisa diartikulasikan sebagai ekspresi artistic. System kategori itu juga mereduksi kerja kebudayaan yang dilakukan tidak menawarkan diskursus baru. Ayolah, kalau cara bacanya sekedar bentuk apa yang ditawarkan bahkan dalam karya Raden Saleh di hadapan pelukis romantic pada jamannya di Eropa? Dalam konteks ini membicarakan bagaimana ekosistem gagasan ini disokong dan dihidupi oleh pemeluknya dalam konteks yang khas jadi penting.  Karena barangkali di sanalah ada masa depan lain dari wajah seni rupa kontemporer Indonesia yang utamanya dipeluk oleh kota kota insignifikan lainnya dan kelak menawarkan diskursusnya sendiri.

 

(Ahmad ‘Adin’ Khairudin, curator pameran)