Pameran

PENGANTAR

Pertama kami ucapkan banyak terima kasih atas kerjasama antara Direktorat Sejarah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah mendukung penuh atas terselenggaranya helatan Penta KLabs II: Sedulur Banyu di Randusari, Nongkosawit, Semarang. Sebagai komunitas penyelenggara: Kolektif Hysteria dan Warga Nonkgosawit secara umum dan khususnya warga Randusari sangat senang akhirnya pembelajaran sejarah lokal dapat disampaikan dengan cara-cara yang lebih variatif dan menyenangkan, yakni dengan pendekatan kesenian.

Berbagai narasi yang digali tim riset mengenai kekayaan cerita rakyat seperti asal-usul kampung, ritual, dan hubungannya dengan fenomena sosial budaya disajikan dengan berbagai pendekatan. Kami berharap melalui pendekatan interdisipliner ini terdapat banyak trobosan tak hanya sajian folklore yang kaya tetapi relasinya dengan isu-isu lingkungan terutama air yang erat kaitannya tak hanya dengan masa depan kampung tetapi Kota Semarang itu sendiri. Semoga apa yang kami ikhtiarkan bisa menjadi pelajaran bersama dan memberikan inspirasi inisiatif serupa di tempat lain.

Video Home

(Tries Supardi)

Sejak tahun 2012, Nongkosawit bersama Desa Kandri dan Desa Wonolopo mendapatkan Surat Keputusan Walikota sebagai desa wisata. Kelompok sadar wisatapun terbentuk. Namun setelah 6 tahun berlalu namun perkembangan desa wisata dianggap kurang signifikan. Tries mencoba mengangkat kampung dari sudut pandang foto dan video yang sekiranya bisa memberikan branding positif lagi pada kampung.

Ringin gendong

(FJ Kunting)

merupakan sebuah seni peristiwa yang coba saya hadirkan pada acara sedulur banyu di Nongko Sawit. Terinspirasi dari cerita warga setempat, kampung mereka memiliki mata air (sendang) yang dulu tak pernah kering. Sejak pohon beringin di sendang hilang, debit air di sendang tak pernah melimpah seperti dulu lagi. Sangat wajar, karena beringin adalah bank air. Saat hujan, akarnya bisa menyimpan air kemudian mengeluarkannya saat kemarau.

Dari cerita warga setempat, saya menangkap keengganan mereka menanam pohon nonbuah. Selain itu, tertangkap pula ketakutan warga jika di sekitar sendang ditanami pohon beringin akan membuat suasana di sekitar jadi angker.

Saya keliling kampung, mengetuk pintu rumah dan menghampiri orang2 yang saya temui di sana, memperkenalkan diri dan meminta izin untuk menanam beringin di sendang.  Melalui proses ini, saya mencoba memanggil kembali ingatan mereka tentang pohon beringin yang dulu pernah menjadi bank air bagi sendang (mata air) warga di sana. Beringin yang saya gendong membuka ingatan mereka hingga membawa pada perasaan2 di masa lalu (senang  pada air  yang  melimpah, takut pada jin yang konon menunggu beringin) berbagai  perasaan  tersebut  mewujud lagi pada  perasaan  was-was  jika ada  lagi beringin yang ditanam di sendang.

 

Ruang Sempit (1 dan 2)

(Demak Komunal)

Setelah melakukan workshop bersama siswa MI Raudhatul Athfal, Randusari, Nongkosawit, Demak Komunal menampilkan hasil lokakarya tersebut dalam ruang yang terbengkalai di sekitar kandang sapi perah. Ruang Sempit sendiri selain secara fisik bisa kita lihat sebagai ruang yang benar-benar sempit juga dimaksudkan secara metaforik imajinasi anak-anak dalam memahami kampungnya yang mempunyai batas-batas wilayah geografis tertentu. Hasilnya berupa penggambaran kampung secara sederhana yang dipajang dalam ruang yang sebelumnya merupakan pos ronda dan tempat penyimpanan benih.

Weling

(STO)

Dibyo atau STO mewujudkan mural berupa gambaran sejarah masalalu terbentuknya Dusun Randusari dan Nongkosawit yang masing-masing mempunyai benda ikonik yakni bedug dan kubah masjid (Randusari) dan bendhe (Nongkosawit). Kedua dusun ini terbentuk karena peristiwa perselisihan di masa lalu antara Kyai Hasan Munadi dengan Ki Ajar Buntit, peristiwa terekam dalam toponimi kampung yang turut membentuk karakter kampung secara umum.

Essence of Kapok: the Breeder

Cut and Rescue (Jakarta)

Selama beberapa hari CnR berusaha memahami kehidupan yang berlangsung di kandang sapi perah. Mereka bergaul dan ikut nongkrong bersama paguyuban ternak di sana di suatu pos ronda. Keberadaan ternak sapi perah sendiri merupakan potensi wisata dan nyatanya memang di salah satu sudut kampung peternakan ini dibranding sebagai destinasi. Namun objektivikasi ini tak jarang membuat para peternak tidak nyaman. CnR berusaha masuk, memahami kesalahpahaman dan mengikuti ritme kerja peternak yang ada di sana yang disajikan dalam bentuk video dan respons atas ruang di sana.

Kios Urip Nongkosawit

(Gerakan Seni Rupa Bogor)

GSRB dalam beberapa minggu terakhir mencoba menjelajahi wilayah Randusari dan Nongkosawit melalui wangan (saluran irigas). Dalam perjalanannya itulah GSRB menemukan beberapa hal yang menarik yang akhirnya dijadikan oleh-oleh atau souvenir khas desa. Selain oleh-oleh yang jadi khas pariwisata, GSRB juga melalui video menemukan hal yang cukup mengkhawatirkan misalnya sempedan saluran irigasi yang kritis jika tidak segera di atasi tak pelak akan jebol sehingga aliran air akan kembali ke Sungai Gribig. Sempedan sungai itu sendiri konon bisa dilewati mobil namun sekarang karena dimakan areal persawahan di sekitar hanya bisa dilewati motor dengan kondisi yang mengkhawatirkan. Apa yang dipotret GSRB merupakan suatu fenomena lain yang merupakan paradoks desa wisata itu sendiri.

Air yang Tumbuh

(Andi Ramdani – Yogyakarta)

Persoalan air di Kelurahan Nongkosawit memicu keprihatinan sendiri bagi Andi. Meski dulunya berlimpah sendang dan mata air faktanya Nongkosawit mengalami kekurangan air di musim kemarau. Instalasi berupa keran air menggunakan bahan bambu ingin mengingatkan masyarakat agar hemat terhadap penggunaan air mengingat kelangkaan di musim kemarau. Menariknya bagian instalasi itu terdapat bibit bambu yang ditanam bersamaan karya yang diharapkan kelak bertumbuh, seperti harapan terhadap kondisi lebih baik untuk mengakses air.

Rumat

(Direct Performance Up)

Manusia sebagai makhluk yang paling berkuasa di bumi yang bisa menentukan apa saja kepada bumi seisinya untuk dijadikan sesuai keinginannya lambat laun akan membuat bumi kehilangan kekuatan maupun sumber dayanya untuk menopang kehidupan, sampah2 yg dihasilkan manusia, kemajuan teknologi yang tidak berbanding lurus dengan kelestarian alam seisinya yg pada akhirnya akan merusak dan meniadakan semua penghuni bumi. Berdasarkan   keprihatinan itu kami mencoba mengajak rekan2 kami dan lingkungan terdekat kami untuk berusaha merawat sumberdaya maupun saya dukung bumi akan kehidupan yang ada di dalamnya, walaupun kami sadar akan sangat susah ketika kami sendiri yang berlaku sebagai predator bumi dan terlibat langsung denga cara hidup kami yang cenderung mengakibatkan kerusakan2 bumi seisinya.

Spesies

(Valeriana Grajales- Kolombia dan Cristina Rodriguez- Meksiko)

Valeriana dan Cristina melukis mural dengan inspirasi gambar dan tekni pewarnaan hasil workshop yang sebelumnya dilakukan di SD N Nongkosawit 01 dan SD N Nongkosawit 02. Cris dan Val mengajak anak-anak untuk mengidentifikasi spesies baik hewan maupun tumbuhan yang ada di sana. Beberapa jenis ikan dan buah-buahan hadir dalam karya tersebut sebagai upaya untuk memantik kesadaran anak-anak terhadap lingkunganya

Memasak Bunyi Dapur

(Riska Farasonalia)

Rekam suara dalam eksperimentasi dan improvisasi bunyi bersama ibu-ibu dengan merespon suara aktivitas memasak di dapur dengan berbagai jenis alat dapur seperti memotong cabe dan bawang di atas telenan, menumbuk bumbu menggunakan lumpang, memarut kelapa dengan parutan, menggoreng ikan menggunakan wajan, merebus air menggunakan teko, memotong singkong dengan alat mesin pemotong, membuat jus buah menggunakan blender lalu kesemuanya dikolaborasikan dengan instrument mainan tradisional seperti rebana, gamelan kecil, tamborine, caracas, seruling bambu, cowbelt, snare drum,dsb. Selain itu memasukan pula bunyi gemericik air ketika ibu mencuci, ada juga ketika menyapu di awal rekaman. Kemudian berlanjut secara spontan ibu-ibu tersebut saling merespon suara satu dengan yang lainnya. Riska berusaha membuat aktivitas domestik ibu-ibu rumah tangga yang seringkali dianggap tidak bekerja menjadi aktivitas bunyi artistik. Bebunyian itu sendiri adalah representasi dari kerja rumah tangga yang tidak kalah berat dibanding kerja-kerja kantoran seperti lazimnya wanita karir.

Dolanan Bocah

(Widyo ‘Babahe’ Leksono)

Widyo ‘Babahe’ Leksono yang mengajak anak-anak kecil menghidupkan kembali dolanan anak masa lalu alih-alih bersuntuk main gawai. Dolanan model jaranan dan lan sebagainya ditampilkan ulang dalam pertunjukan. Sebelumnya Babahe tinggal dan membuat familiar jenis mainan-mainan (dolanan bocah) yang sudah lama tidak dimainkan lagi. dolanan anak yang sarat dengan fungsi kinetis dan motorik kaya dengan interaksi sosial membuat anak anak bermain cukup ceria di tengah malam

Warga Randusari

(Semarak Randusari)

Berupa artefak yang diciptakan warga untuk menyambut maulid nabi. Benda-benda ini diarak keliling kampung setiap setahun sekali dengan bentuk yang berbeda sesuai kreasi masing-masing RT. Ratusan warga berkumpul, menyalakan obor dan lampu beriringan berjalan kaki dan ada juga yang menggunakan kendaraan memperingati lahirnya Nabi Muhammad. Beratus tahun lalu Islam masuk ke kampung ini dan meninggalkan berbadai artefak relijius yang semangatnya selalu dirayakan tahunan.

Babad Nongkosawit

(Wayang Ringut dan Wayang Angkrek)

Wayang ini menggunakan cerita babad kampung sebagai pusat penceritaan.  Hal ini tentu menarik mengingat banyak toponimi Semarang hanya disimpan sebagai folklore atau buku sejarah yang jarang dibaca. Upaya pemanggungan menjadi pendekatan menarik karena seluruh elemen audio visual dimaksimalkan.

Nongkosawit dan Randusari

(Kuver dan Sueb)

Kuver dan Sueb menafsir ulang penggalan kisah terbentuknya Nongkosawit dan Randusari dengan menggunakan medium teater dengan aktor para pemuda dan pemudi karang taruna Randusari. Kuver atau Aristya Kusuma Verdana yang berlatar belakang teater dan Sueb Andy seniman visual dan juga bermain dengan musik eksperimental membuat pertunjukan menjadi cukup mistis. Latihan tidak perlu terlalu lama, tidak lebih dari sebulan para aktor kampung sudah cukup apik menguasai panggung dan melakukan improvisasi

Berburu Sendang di Luar Angkasa

(Wayang Tenda)

dengan lakon ‘Berburu Sendang di Luar Angkasa’. Saat kehidupan di bumi tak lagi layak ditinggali perburuan demi perburuan dimulai. Tak terkecuali mata air. Sumber utama kehidupan. Dalam perburuan itu ternyata manusia bukan makhluk satu-satunya. Di angkasa terdapat berbagai macam makhluk yang juga membutuhkan air. Lalu pertarungan dimulai. Cerita ini disajikan secara enteng oleh Wayang Tenda yang memang dalam kebanyakan lakonnya diperuntukan bagi anak kecil.