Seni Rupa Kontemporer, Ekosistem Gagasan, dan Konteks Kota Pinggiran

admin Uncategorized Februari 29, 2020

Seni Rupa Kontemporer, Ekosistem Gagasan, dan Konteks Kota Pinggiran

Bagaimana seni rupa kontemporer Indonesia sebagai sebuah gagasan diterima, diadaptasi, dan diamalkan dalam konteks kota-kota yang selama ini dianggap tidak signifikan masuk dalam medan kultural dan wacana? Setidaknya dalam timeline sejarah seni rupa Indonesia yang disusun Enin Supriyanto dalam ajang Europhalia, juga Rencana Pengembangan Seni Rupa Nasional 2015-2019  yang disusun oleh Mia Maria, Asep Topan, dan Dila Martina Ayu, kota-kota yang dianggap representasi seni rupa Indonesia hanya didominasi Jogjakarta, Bandung dan Jakarta. Dalam kondisi seperti ini bagaimana posisi kota-kota non arus utama dalam menentukan strateginya atau lebih spesifik lagi bagi para pelakunya entah itu personal maupun komunal. 

 

Sebagai sebuah kelompok Kolektif Hysteria dideklarasikan sejak 11 September 2004, namun baru tahun 2006 akhir intens terlibat dalam event-event seni rupa maupun lintas disiplin lainnya. Seni rupa kontemporer sebagai sebuah gagasan bukan suatu yang dipelajari dalam bangku perkuliahan namun dari akumulasi pertemuan, diskusi, melihat, praktik, pengetahuan sepotong-potong dan diamalkan dalam arus waktu. Term art project menjadi hal yang lumrah saat itu untuk menyebut praktik-praktik kesenirupaan yang menekankan rangkaian proses dari  pada hasil akhir berupa artefak seni saja. Kolase gagasan dan ketiadaan standar penilaian inilah yang membuat arena bermain menjadi menyenangkan untuk dieksplorasi sebagaimana kolektif-kolektif seni lain di Indonesia yang saat itu tumbuh. Keluhan soal minimnya sokongan ekosistem tidak membuat kolektif seni di berbagai tempat patah semangat apalagi booming seni rupa tahun 2008an membuat gairah ini meluap-luap. Pertemuan ruang alternatif dan kolektif seni dalam ajang FIXER di Jakarta tahun 2009 menandai semangat baru berbagai strategi coba disiasati alih-alih mengutuk infrastruktur seni di masing-masing kota. Setelah pasar melakukan koreksi baru satu persatu kolektif-kolektif ini berguguran atau mati suri. Kolektif Hysteria yang tidak masuk dalam bagian pemetaan itu berhasil bertahan hingga  sekarang. Justru kehadirannya yang tidak di sini maupun tidak di sana menyisakan pertanyaan besar komunitas ini mahluk apaan. 

 

Tuduhan soal kelompok yang tidak spesifik menyeruak, karena lazimnya komunitas seni itu mengambil bentuk yang khusus. Kita tahu Mes 56 adalah kelompok yang focus pada fotografi, Garasi khusus teater, House of Natural Fiber dan Lifepatch new media ddengan citizen science, Ruangrupa dulunya dikenal seniman yang mengolah video. Bentukan-bentukan yang spesifik itu seolah menjadi satu-satunya model jika kolektif seni ingin sukses masuk dalam medan. Hysteria gagal diidentifikasi karena barangkali tidak pernah menjadi kelompok yang spesifik. Belakangan justru bentukan yang spesifik ini saya pertanyakan mengingat di kota-kota yang struktur seninya masih sederhana seseorang harus siap menjadi amatir. Seniman, makelar, kolaborator, tukang sebar undangan, dokumentasi, tim display, dan juga marketing! Tidak ada dan tidak pernah ada museum yang memadai di kota-kota seperti Semarang. Aneka keluhan tentang perlunya penulis kaliber nasional, curator andalan, media seni, dan banyak lagi rantai infrastruktur seni itu berlangsung sejak lama. Seolah hanya dengan melengkapinya kita akan sampai pada status yang sama. Ini baru Semarang, coba bayangkan kota-kota lain seperti Demak, Kendal, Cirebon, Pasuruan, Kediri, dan banyak lagi yang lain. Sejak tahun kapan kota-kota ini dianggap selalu kekurangan sehingga tidak ada yang menarik yang bisa dibaca  dari teman-teman yang aktif di daerah. Jangan-jangan bukan seluruh kekurangan ini penyebabnya tetapi kacamata bacanya yang salah. 

 

Teori-teori evolusi kebudayaan seolah mensyaratkan perubahan itu selalu gradual dan selangkah demi selangkah. Dari A ke B ke C ke D dan seterusnya. Orang lupa modernisme, postmodernism dan isme-isme lain datang ke negara dunia ketiga hampir bersamaan. Disrupsi di mana-mana, dan seolah dalam pemahaman orang di daerah untuk mencapai posisi sama dalam relasi kuasa haruslah menempuh tahapan yang gradual. Harus punya galeri, museum seni, kritikus, institusi seni, media, kolektor dan lain-lain untuk mencapai masyarakat seni yang paripurna. Orang lupa politik di Indonesia adalah panglima, membayangkan kota-kota kecil memiliki itu semua dan mengabaikan proses politik yang seringkali membuat depresi buat saya hanya buang-buang waktu apalagi usia kita semakin bertambah. Dalam relasi kuasa yang timpang, bagaimana seni rupa kontemporer Indonesia diamalkan terutama oleh kota-kota kecil yang selalu menanggung ketidaksempurnaan infrastruktur. Tentu jika kita menganut standar aneka ISO seni kontemporer dunia silakan saja politik representasi yang dimainkan puluhan tahun diteruskan. Tapi dalam konteks bernegara dan keindonesiaan, pandangan yang bias ini tidak hanya akan memiskinkan praktik yang sedang berkembang tetapi juga menghamburkan anggaran jika berdasar data dan penilaian yang tidak mengenal konteks. Alhasil bisa saja program yang diinisiasi negara berupa pemberadaban a la semangat modernisme dalam selera tunggal. 

 

Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan yang ditulis oleh Tjetjep Rohendi Rohidi adalah telaah yang baik tentang bagaimana ungkapan estetika suatu kelompok masyarakat tertentu  tak bisa dipisahkan dari medan kultural ia tumbuh. Tak heran dalam simpulan Rohidi seni di Kabupaten Kendalini mencirikan ekspresi seni yang cepat saji, durasi terbatas, orientasi uang, dan juga mudah sekali beradaptasi. Di dalam budaya kemiskinan nilai-nilai itu diadopsi dan dianut masyarakat pemeluknya dan kalau perlu distansmisikan alhasil jadilah ekspresi artistick yang dianggap rendahan dan murahan. Kita tentu bisa berdebat panjang soal perbedaan nilai seni tinggi dan rendah dan bagaimana mempunyai kekuatan tersendiri. Pembacaan yang menarik justru saat kita melihat ekspresi artistic berelasi dengan medan budaya yang hidup dan dihidupi pemeluknya. Dalam konteks ini pembacaan memakai kaca pandang antropologis lebih memadai daripada menggunakan teori seni itu sendiri yang mendekati dari segi bentuk, meskipun ada juga  teori tentang estetika relasional. Di dalam relativisme kebudayaan, tidak ada puncak-puncak kebudayanan tetapi satu dan yang liyan bersanding dalam medan yang sama masing-masing memberikan kontribusi. Cara pandang seperti ini mungkin sulit menggeser system nilai yang stabil berpuluh tahun, namun saya rasa perspektif ini bisa mengayakan dan jadi alternative bagi kota-kota kecil yang tidak pernah dianggap signifikan dalam medan budaya. 

 

Lalu apa yang terjadi jika nilai dominan terus menerus dipaksakan? James Scott meriset cukup baik para petani miskin di daerah Sedaka, Malaysia dalam Senjatanya Orang-orang Kalah. Tidak lagi mengangkat senjata atau seruan-seruan massif, justru sikap masa bodoh, ignorant, menggunjing, dan enggan berpartisipasi menjadi penghambat nyata atas slogan-slogan pembangunan. Mereka tidak pernah merasa menjadi bagian dari gerakan tersebut, jadi apa untungnya? Dalam kondisi demikian perbaruan cara berkomunikasi mesti dicapai banyak pihak. Itu jika masih  memandang seni rupa kontemporer benar-benar membumi di Indonesia tidak sekedar privilege beberapa kota saja. 

 

Penta Klabs, Sites Specific Art Project Biennale

(Biennale a la Kolektif Hysteria)

 

Hysteria mulai menyadari akan keberadaannya  dalam medan ini sebetulnya belumlah terlalu lama. Dimulai dari tahun 2012 ketika nyaris seluruh anggota kolektif lulus kuliah dan paham bahwa tidak ada uang yang bisa dihasilkan dari aktivisme kesenian saat itu. Pilihannya adalah berhenti  atau melanjutkan, namun kalaupun melanjutkan atas dasar apa? Kesadaran tentang ruang kota sebenarnya dipicu oleh studi-studi partikelir karena berhubungan dengan banyak NGO, misalnya dengan LBH Semarang, Rujak Center for Urban Studies, Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Semarang, LBH Apik dan banyak lagi yang lainnya yang membuat sejak lama Hysteria tidak pernah melulu berurusan dengan produksi artistic. Riset di Tugu dan Bustaman adalah titik balik dalam melihat fenomena perkotaan dan eksistensi komunitas. Saya sadari meski sejak 2008  sudah menginisiasi program di kampung dan terlibat acara kampung, namun sebenarnya kami tidaklah benar-benar paham kampung berikut kehidupannya. Kami mulai mempertanyakan kerja-kerja kesenimanan. 

 

Debat tentang peranan seni apakah untuk melayani masyarakat atau untuk kepentingan seni itu sendiri sudah berlangsung sejak lama. Di Indonesia sendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan kelompok Manifes Kebudayaan (Manikebu) berdebat sengit tentang hal itu. Gerakan turun ke bawah (turba) yang diinisiasi LEKRA mendorong seniman untuk menghayati peranannya dalam kebudayaannya, utamanya mencari identitas keindonesiaan dan juga kebergunaan karya. Sementara Manikebu yang didorong oleh semangat Surat Kepercayaan Gelanggang merasa menjadi bagian dari kebudayaan universal yang tidak tersekat-sekat pada kepentingan politik praktis. Debat ini terhenti di tengah jalan karena peristiwa berdarah G 30 S / 1965 yang menempatkan PKI sebagai satu-satunya terdakwa. LEKRA yang dituduh berafiliasi dengan ideologi komunisme dan dekat dengan PKI dibabat habis. Setelah kekuasaan Orde Baru mantap mulailah dilakukan normalisasi kehidupan kampus. Masa bulan madu Orde Baru dan mahasiswa berakhir  setelah peristiwa Malari tahun 1974. Waktu itu mahasiswa menolah investasi dari pemerintah Jepan. Aksi yang berakhir ricuh itu menyebabkan dikeluarkan aturan mengenai normalisasi kehidupan kampus atau Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). 

 

Aktivisme seni termasuk kena imbasnya yang ingin dijauhkan dari realitas politik. Di sisi lain terjadi banyak inovasi dalam bidang lain mengenai estetika misalnya dalam teater Bulan Bujur Sangkar nya Iwan Simatupang, dalam tari ada puisi konkretnya Sutadji Calzoum Bachri, Danarto dll. Namun demikian bukan berarti tidak ada perlawanan. Dalam medan seni rupa terjadilah peristiwa Desember Hitam yang pada perkembangannya menjadi Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) yang akomodatif terhadap ekspresi lain tidak hanya berpaku pada dwi atau trimatra saja. Bentuk-bentuk ekspresi artistic lain mulai dicoba, salah satunya  Moelyono yang terkenal dengan project seninya bernama ‘Kesenian Unit Desa’, yakni aktivisme kesenian di daerah Tulung Agung yang prosesnya ingin dipresentasikan dalam ujian S1 di ISI Gampingan saat itu. Presentasi itu ditolak mentah-mentah namun jadi jalan ideologis Moelyono untuk mengembangkan Seni Penyadaran hasil pergulatannya dengan realitas sehari-hari yang dihadapinya di kampung dengan gagasan-gagasan Paulo Freire. 

 

Menjelang runtuhnya Orde Baru, makin banyak komunitas yang tumbuh. Happening dan performing art nyaris selalu hadir dalam momen-momen demonstrasi. Taring Padi salah satu yang mengusung jenis kesenian demonstrative ini di Jogjakarta. Tahun 1990 an juga menandai lahirnya banyak kolektif seni di Indonesia, termasuk kelompok-kelompok yang terbentuk di awal tahun 2000an banyak yang terpapar dari euphoria menumbangkan rezim orde baru. Tak lama setelahnya undang-undang otonomi daerah disahkan dan imajinasi musuh bersama di pusat ikutan runtuh. Otonomi daerah membuat daerah leluasa mengambil kebijakan dan tak jarang menciptakan raja-raja kecil. Celakanya  kesadaran terhadap konteks yang lebih local sepengamatan saya sepanjang tahun-tahun 2004-2012 tidak banyak tumbuh di komunitas seni. Narasi kekejaman Orde Baru hadir tidak secara langsung karena generasi saya tidak mengalaminya secara langsung apalagi di kota kecil semacam Rembang tempat saya bertumbuh. Hal itu tentu saja membuat persepsi mengenai rezim, modus Gerakan punya variannya sendiri. Di sisi lain, Dadaisme yang diusung Duchamp yang mendapat resonansi besar dalam Gerakan Fluxus turut mengayakan kolase gagasan yang saya serap dari manapun. Termasuk social sculpturenya Beuys terutama proyek dia di Kassel dalam ajang Dokumenta. Perluasan seni sebagai praktik dalam masyarakat yang menciptakan dampak dan memahat struktur social dan kota itu sendiri memberi arah yang segar atas apa-apa yang akhirnya diiisiasi Hysteria. Orisinalitas sejak ready made masuk ke galeri sudah tidak menjadi signifikan lagi ditambah absennya otoritas estetik akademik membuat siapapun menjadi siapapun. Hal itulah yang saya sukai dari seni rupa yang kebebasannya bahkan mendekati banal. Tapi apapun itu ide-ide itu relevan dengan kegelisahan kami mengenai praktik kebudayaan apa yang sekiranya pas dengan kapasitas kami dan dalam konteks di mana kesenian kami hidup di dalamnya, Semarang. 

 

Kalau mau jujur, Semarang hanya  punya satu galeri seni berwibawa yakni Semarang Contemporary Gallery (biasanya disebut Galsem). Meski punya kampus seni, sangat jarang nama-nama yang ada saat ini dibicarakan dalam medan wacana. Rumah Seni Yaitu (RSY) yang aktif sejak 2005-2010 awal menjadi oase anak muda yang menginginkan praktik-praktik yang lebih beragam. Masa hidupnya  yang singkat memungkinkan banyak orang seperti saya menimba ilmu dan jaringan dan membentuk gagasan jenis seni apa yang hendak kita peluk. Setelah tutupnya Rumah Seni Yaitu praktis hanya Galeri Semarang yang rutin menghelat pameran. Sebagai galeri komersil tentu saja mereka punya standar sendiri sehingga perupa di Semarang yang dianggap belum layak ‘jual’  minim sekali punya kesempatan berpameran di sana. Saya sendiri tidak mengambil pusing fenomena hal tersebut. Kami mulai membaca ulang kapasitas dan sumber daya yang kami miliki. Seni-seni di kampung sebagai manifestasi gagasan yang berkelindan tersebut perlahan-lahan kami eksekusi dan mencari format paling pas. Jadilah Tengok Bustaman I (2013) dan Tengok Bustaman II: Bok Cinta Project (2015). Modal ini membuat Hysteria menginisiasi model serupa tapi menggunakan situs atau kampung yang selalu berpindah-pindah. Biennale art project pertama kami helat dalam program bernama Penta KLabs. 

 

Penta  KLabs atau 5 K yakni pertemuan antara kamu/ kami/ kita- kelas- kampus- komunitas/ kampung- kota. Sites specific art project biennale ini menggunakan suatu tempat tertentu untuk melaksanakan programnya dengan isu yang khusus pula. Tahun pertama tahun 2016 dihelat di Kemijen, Semarang  Timur dengan focus pada isu ketahanan kampung. Hysteria melakukan riset etnografi dan menggunakan data ini untuk direspons oleh seniman undangan. Para seniman akan tinggal dan menjalani residensi selama bebrapa hari atau minggu dan membuat karya bersama warga di situs tersebut. Kerjasama dengan Prodi Perencanaan Wilayah Perkotaan (PWK) Unissula kami menerima paper berkait isu yang sedang diangkat dan dipresentasikan di kampung tersebut.  Template itulah yang kami kembangkan di beberapa kampung lain dengan jenis isu yang berbeda-beda. Tentu tidak semua dipenuhi tetapi kurang lebih pendekatannya sama. Hal itu bisa dilihat dalam project lain misalnya Nginguk Githok (Rembang), maupun Festival Bukit Jatiwayang (Semarang). Saya juga tidak ingin terjebak dalam sejarah Semarang sebagai kota besar sementara kami sendiri tidak pernah terlibat event skala besar dalam konteks kota. Alih-alih terbebani dengan sejarah Semarang, Hysteria  melakukan pendekatan yang spesifik dan intensif. Berbeda pula dengan kolektif seni perlawanan, pintu masuk ke situs adalah potensi jadi bisa memberikan vibe positif. Hal ini yang mungkin membedakan dengan seni-seni partisipatif lain yang diusung beberapa kelompok di Indonesia yang masih banyak memperlakukan masyarakat sebagai laboratorium semata tapi tidak menjadi bagian dari mereka. Masyarakat basis inilah yang membuat aktivisme Hysteria baik pada saat berfunding atau tidak tetap jalan. 

 

Kelindan kami dengan berbagai isu kota dan konteks-konteks local membuat Hysteria belajar situasi politik local dan cara menautkannya dengan isu global lainnya. Pembacaan terhadap konteks sepertinya mudah namun layer-layernya menjadi banyak ketika  hendak meretas relasi kuasa. Pecah telur pertama sebagai kelompok seni rupa kontemporer dari Semarang yang berhasil residensi di Jerman tidak lepas dari strategi pembacaan terhadap konteks global yang ditarik ke local. kami sadar tidak pernah gampang misalnya rebutan dana dari Ford Foundation, Hivos, bahkan Djarum untuk isu-isu spesifik kesenian, karena relasi power itu nyata dan tidak mudah untuk ditaklukkkan. Di sisi lain ada juga program-program yang memanfaatkan dana dari kelurahan setempat atau iuran warga seperti di Sekararum atau dalam Tengok Bustaman IV. Sementara kita tahu dunia seni kontemporer kita masih banyak yang bercerai dengan negara atau tidak berkait langsung dengan urusan kemasyarakatan, Penta KLabs mengambil peluang untuk meluaskan konteks seni dalam masyarakat dan terutama di kota-kota yang infrastrukturnya blangsak. 

 

Celakanya model pembacaan terhadap fenomena ini masih didekati dalam kategori bentuk. Hal ini membuat apa yang diupayakan dalam Penta KLabs sering dianggap sebagai turunan atau lebih parah jiplakan dari bentuk-bentuk yang ada, misalnya apa yang sudah diinisiasi oleh Moelyono. Atau sering juga disebut cara-cara LSM mengakali dana kesenian. Padahal nyaris dari 2004-2017 hanya 15 % dana kami dapat dari sector seni. Sisanya dari crowd funding dari sisa saving mengakali program-program non seni yang selalu bisa diartikulasikan sebagai ekspresi artistic. System kategori itu juga mereduksi kerja kebudayaan yang dilakukan tidak menawarkan diskursus baru. Ayolah, kalau cara bacanya sekedar bentuk apa yang ditawarkan bahkan dalam karya Raden Saleh di hadapan pelukis romantic pada jamannya di Eropa? Dalam konteks ini membicarakan bagaimana ekosistem gagasan ini disokong dan dihidupi oleh pemeluknya dalam konteks yang khas jadi penting.  Karena barangkali di sanalah ada masa depan lain dari wajah seni rupa kontemporer Indonesia yang utamanya dipeluk oleh kota kota insignifikan lainnya dan kelak menawarkan diskursusnya sendiri. 

 

(Ahmad ‘Adin’ Khairudin, curator pameran)

 

Tentang Nongkosawit

 

Memasuki periode kedua, Penta Klabs mengambil tempat di Dusun Randusari, Kelurahan Nongkosawit, Gunungpati, Semarang. Tipikalnya tentu sangat jauh berbeda dengan Kelurahan Kemijen yang tahun 2016 menjadi ajang Penta Klabs pertama. Jika sebelumnya merupakan daerah hilir dan pesisir, Nongkosawit sebaliknya letaknya di hulu dan perbukitan hijau. Kelurahan  Nongkosawit sendiri merupakan salah satu dari 16 desa Kecamatan Gunungpati. Kelurahan ini kurang lebih memiliki jarak 6 km dari pusat pemerintah kecamatan, 23 km dari pusat pemerintahan kota, 23 km dari pusat ibukota kabupaten dan 26 km dari ibukota provinsi. Luas wilayahnya 240.756 Ha. Terbagi atas 5 RW dan 21 RT berbatasan dengan sebelah utara Desa Pongangan, Selatan Kelurahan Gunungpati, Sebelah barat Desa Kandri, dan sebelah timur Desa Ngijo.

Jumlah penduduk per januari 2018 adalah 5102 jiwa, terdiri dari 2573 laki-laki dan 2.579 perempuan terhimpun dalam1.025 kk. Penduduk usia 0-15 berjumlah 1.060 jiwa, usia 15-65 berjumlah 3.160 jiwa dan usia 65 ke atas berjumlah 876 jiwa. Pekerjaan masyarakat variatif yakni ada karyawan/PNS, wiraswasta, petani, tukang, buruh, dan pedagang. Namun secara umum sebagian besar berprofesi sebagai buruh dan petani. Tahun 2013 Kelurahan Nongkosawit ditetapkan sebagai Desa Vokasi.

 

Walaupun sebagian besar profesi masyarakat kelurahan nongkosawit sebagai buruh dan petani. Pendidikan masih menjadi aspek yang penting membentuk kualitas manusia dan kesejahteraan sosial. Pembentukan kualitas tersebut dapat dimulai dengan menempuh pendidikan  yang dilakukan semenjak usia dini. 

Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang menempuh pendidikan.  Per-januari 2018 jumlah warganya yang berpendidikan Taman kanak-kanank (TK) sebanyak 497 anak, Sekolah dasar (SD) sebanyak 990 anak, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 1.284 anak, Sekolah Mengah Atas (SMA/SMU) sebanyak 953 anak, Akademi/ D1-D3 sebanyak 943 orang, sarjana sebanyak 273 orang dan pascasarjana sebanyak 51 orang.

 

Selain pendidikan warga Nongkosawit terkenal dengan kentalnya ajaran agama islam. Hal ini dapat dilihat dari cerita-cerita legenda dan mitos tentang wali dan banyaknya sarana ibadah, misalnya terdapat 6 Buah masjid dan 22 mushola. Masyarakat dikenal juga aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Kelembagaan tersebut terdiri atas satu LPMK dengan jumlah pengurus 22 orang, satu Lembaga adat, TP PKK dengan jumlah pengurus 18 orang, Karang taruna dengan jumlah pengurus 16 orang dan 3 lembaga kemasyarakatan lainnya.

 

Selain itu keaktifan masyarakat dalam berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyrakatan juga dapat dilihat dengan ramainya kegiatan-kegiatan yang diadakan di kelurahan nongkosawit. Seperti pengajian, pengingatan hari kemerdekaan 17 agustus, Hari santri nasional dan kegiatan-kegiatan lainnya. Saat ini Nongkosawit terdiri dari 5 RW, yaitu Kampung Nongkosawit (RW1), Kampung Randusari (RW2), Kampung Jedung (RW3), Kampung Kepuh (RW4) dan Kampung Getas (RW5). Setelah ditetapkan sebagai desa wisata, Nongkosawit pelan-pelan berbenah, selain menginisiasi acara budaya kelompok sadar wisata juga memetakan potensi lingkungan misalnya pemberdayaan Curug Mah Tukung. Air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 3 meter dengan pemandangan khas daerah pedesaan dan terdapat batu-batu kali yang menghiasi di sepanjang aliran sungai. Karena air terjun ini berada di daerah yang sulit untuk dijangkau, maka tidak banyak yang tahu dan para tokoh masyarakat berusaha meretas jalan yang lebih mudah ke sana. Selain data monografis di atas, hal lain yang menarik tim Penta Klabs untuk memilih Randusari, Nongkosawit adalah isu air dan lingkungan. Hal ini akan dijelaskan dalam tulisan terpisah.