Budaya Tingkeban dan Mandi Air Sendang

bombom Narasi Maret 3, 2020

Budaya Tingkeban dan Mandi Air Sendang

            Uri-uri budaya jawi, itulah yang sering kita dengar dari orang—orang yang sedang dan berupaya melestarikan budaya jawa. Budaya jawa atau kejawen memang memiliki banyak sekali bentuk-bentuk budaya dalam kegiatan msyarakat yang memiliki kekhasan tersendiri di setiap daerah sesuai dengan kepercayaan yang dipelihara oleh masyarakat itu sendiri. Budaya ini pun juga memiliki sejarah panjang yang berawal dari sistem agama hindu dan berakulturasi dengan islam dan dipelihara oleh masyarakat kita sebagai kekayaan dan kearifan lokal.

            Hal tersebut juga dimiliki oleh masyarakat di Kelurahan Nongkosawit. Budaya-budaya yang diturunkan dari orang-orang tua sebelumnya masih ada beberapa yang diterapkan hingga saat ini. Salah satunya adalah upacara tingkeban atau lebih dikenal dengan pitonan. Upacara ini dilakukan pada setiap tujuh bulan kehamilan pertama seorang perempuan atau orang setempat menyebutnya sebagai meteng tembean (hamil untuk pertama kali).

            Prosesi kegiatan ini dimulai dengan berdoa bersama di rumah ibu hamil, dan kemudian ibu hamil akan menggunakan kemben atau jarik sebagai pakaian basahannya karena ia akan dimandikan dan menjalani proses pecah telur. Jaman dahulu di Kampung Nongkosawit, proses mandi akan dilakukan di Sendang Jati dan Sendang Cangkring. Akan tetapi saat ini proses ini sering dilakukan di rumah masing-masing warga dengan air sumur.

            Setelah mandi, ibu hamil akan meletakkan telur ayam di dalam kembennya dan dibiarkan jatuh kebawa. Pecahnya telur yang jatuh sebagai simbol kelahiran bayi yang diharapkan kelahirannya dapat berjalan lancar seperti telur yang mudah pecah terebut. Setelah prosesi selesai,ibu hamil akan digantikan pakaian kering dan dibawa kembali ke rumah untuk melakukan doa bersama dan genduri atau slametan sebagai acara penutup dari prosesi tingkeban ini.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.