Makam Si Gandek dan Tradisi Nyadran
Makam Si Gandek adalah makam umum yang terletak di Dusun Getas, Nongkosawit, Gunung Pati Semarang. Awal mula penamaan Si Gandek berasal dari seorang tokoh bersejarah yang bernama Niti Sudarmo. Niti Sudarmo kala itu sedang berkelana dan sampailah di Dusun Getas, dalam perjalananya ia membawa sebuah tongkat yang terbuat dari kayu gandek. Gandek sendiri merupakan jenis tumbuhan. Lalu suatu ketika Niti Sudarmo meninggal dunia di Dusun Getas, setelah dimakamkan oleh masyarakat tongkat yang dibawa Niti Sudarmo di tancapkan di pusaranya.
Saat itu lah keajaiban itu datang, tongkat kayu gandek yang dahulu kala di pakai Niti Sudarmo yang kemudian ditancapkan di tanah pusaranya tiba-tiba tumbuh menjadi Pohon Gandek. Tentunya kenyataan tersebut menggegerkan warga masyarakat Getas. Kemudian pernah di suatu kondisi di Dukuh Getas mengalami musibah ‘Pagedebuk Mayang Koro’ yang berarti masa-masa paceklik dan banyak wabah penyakit. Dengan inisiatif warga masyarakat, mereka mengiris kulit Pohon Gandek lalu mereka rebus dengan air. Siapa sangka warga masyarakat yang menderita berbagai penyakit tersebut dapat sembuh karena mengosumsi air rebusan Pohon Gandek. Lalu warga masyarakat semakin kalap mengosumsinya, banyak warga yang datang ke makam guna mengambil kulit Pohon Gandek. Kemudian lama kelamaan Pohon Gandek tersebut mati.
Seiring berjalanya waktu, makam umum tanpa nama tersebut kemudian dikenal sebagai Makam Si Gandek. Setahun sekali di bulan Ruwah hari Minggu Kliwon, masyarakat Getas menggelar tradisi Nyadran Kubur. Sebelumnya Nyadran kubur diperingati tiap hari Kamis Wage, tetapi atas pertimbangan ketua RW Dusun Getas, hari diganti dengan Minggu Kliwon supaya semua element masyarakat dapat turut dalam tradisi tersebut. Pengajian selapanan di Getas juga mengambil hari tersebut untuk acara rutin mereka.
Biasanya di makam masyarakat berkumpul di pelataran makam Niti Sudarmo guna membacakan yasin tahlil bagi sanak saudara mereka. Kemudian setelah doa-doa yang dipanjatkan selesai. Masyarakat berkumpul di masjid untuk memakan nasi ambengan. Jika dahulu nasi ambengan dibuat menyerupai nasi tumpeng berkat saat ini nasi dikemas dalam box kardus.
Selain nyadran kubur, sebelumnya masyarakat Getas juga memperingati Nyadran Kali. Nyadran Kali dilakukan di Sendang Gede. Dalam prosesinya masyarakat terlebih dahulu berbondong-bondong datang ke Sendang Gede. Kemudian mereka berdoa bersama sebagai bentuk syukur mereka untuk segala berkah air yang diberikan Tuhan. Setelah itu mereka memakan nasi ambengan bersama-sama. Usai makan bersama, mereka bergotong-royong membersihkan sedimen yang ada di sendang, membangun pagar, membuat lincak (tempat duduk) dan memperbaiki fasilitas sendang yang rusak. Tetapi tradisi tersebut kini tidak diperingati lagi oleh masyarakat Getas karena mereka kini dimudahkan dengan adanya sumur artesis. Air Sedang kini tak digunakan lagi, masyarakat enggan membersihkan sendang, dan tradisi nyadran kali pun hilang.
Tinggalkan Balasan