Pangeran Panji Hasto Gumelar
Pangeran Panji Hasto Gumelar (PHG) merupakan salah satu tokoh yang terkenal dalam sejarah Kelurahan Nongkosawit, Semarang. Berbagai macam kisah tentang PHG pun menjadi kisah rakyat sampai saat ini di kelurahan nongkosawit. Kisah mengenai PHG ini sama pentingnya dengan berbagai kisah yang ada di Nongkosawit seperti masjid wali, Bedug Sidogori, bende hingga Wali Syekh Hasan Munadi.
PHG dipercaya sebagai keturunan dari Kerajaan Majapahit dan seorang winasih.. Menurut penuturan Mbah Parmin yang merupakan salah satu sesepuh kampung sekaligus penjaga Makam Sipole Nama asli PHG adalah Raden Wiro Tanoyo. PHG dimakamkan di sana ±700 tahun lalu. Di makam tersebut juga dimakamkan beberapa ajudan dari PHG yaitu Mbah Haruman dan Nyai Cembini.
PHG merupakan salah satu tokoh yang dipercaya oleh masyarakat Nongkosawit sebagai salah satu mbahu rekso/ danyang di Nongkosawit. Konon umur makam PHG hampir sama dengan masjid wali yang dibangun oleh Syekh Hasan Munadi yang dipercaya sebagai tokoh yang bahu rekso di Nongkosawit.
Pak Warsono, salah satu tokoh kampung berpendapat bahwa PHG merupakan salah seorang mata-mata yang dikirim oleh Kerajaan Majapahit. PHG dikirim oleh kerajaan karena mereka mendeteksi seorang tokoh yang sangat perpengaruh dalam menyebarkan agama islam di daerah Nongkosawit yaitu Syekh Hasan Munadi. Mulanya masyarakat Nongkosawit masyoritas beragama Hindu. Namun ketika Syekh hasan munadi datang ke Nongkosawit. Sebagian besar warga lantas berpindah agama menjadi agama islam. Proses islamisasi inilah yang sedang dimata-matai oleh pangeran.
Sampai saat ini makam PHG berada di kelurahan Nongkosawit. Lebih tepatnya berada di RW 01 Kelurahan Nongkosawit. Kuburan tempat PHG dimakamkan sekarang menjadi tempat pemakaman umum. Makamnya sampai saat ini masih terawat dengan baik.
Makam PHG pertama kali ditemukan oleh Jamiyah Sirothul Fatekhah. Sampai saat ini jamiyah Sirothul Fatekhah masih rutin mengadakan kegiatan jamiyah yang berada di masjid. Jamiyah ini dipimpin oleh Kyai H Muhamad Slamet Suhadi dari kota Semarang. Makam Pengaran Panji Hasto Gumelar ini ditemukan setelah jamiyah ini melakukan Tirakad Priyai 27 bersama seorang guru bernama Kyai Rohadi yang berasal dari Padepokan Lir Ilir Malon. Pada awalnya Tirakad Priyai memiliki tujuan untuk mengetahui mengenai siapa yang bahu rekso Kelurahan Nongkosawit dan dilakukan secara gaib. Tirakad priyai ini terdiri dari para sesepuh yang berasal dari warga Kelurahan Nongkosawit yang berjumlah 27 orang.
Tirakad priyai dilakukan dengan cara melakukan jalan dari kelurahan Nongkosawit menuju Nyatnyono, tepatnya di makam Syekh Hasan Munadi. Selain itu para priyai ini ketika melakukan tirakad diwajibkan berpuasa dari berangkat hingga pulang kembali di Kelurahan Nongkosawit.
Ketika melakukan tirakad inilah para priyai melakukan mlebu sukma untuk berkomunikasi dengan berbagai macam tokoh yang memiliki hubungan dengan Kelurahan Nongkosawit. Beberapa di antaranya adalah Syekh Hasan Munadi dan PHG. Dari sinilah awal mula diketahui kisah tentang PHG.
Menurut penurutan Mbah Parmin, PGH merupakan tokoh yang datang sebelum Syekh Hasan Munadi. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan carita asal mula masyarakat Nongkosawit yang mayoritas beragama Hindu. Pada masa PGH nama awal mula nongkosawit adalah desa Branjangan. Kata “Beranjang” memiliki arti “Jaring”. Arti filosofi dari beranjangan yaitu orang-orang pintar pada masa itu dijaring sehingga meraka dapat berkumpul di desa beranjangan tersebut. Namun demikian nama desa tersebut dirubah oleh Syekh Hasan Munadi menjadi Nongkosawit bersamaan dengan masuknya agama islam pertama kali ke daerah tersebut.
Kisah mengenai PHG pun berkembang dan tersebar di sekitar Kelurahan Nongkosawit sehingga makam PHG selalu ramai dikunjungi hingga saat ini. Khususnya pada sabtu malam. Kondisi makam sudah menjadi lebih terang dibanding dulu karena dilengkapi lampu dan di sekitarnya ada pemukiman warga. Meski demikian makam tetap disakralkan karenanya memiliki berbagai syarat untuk memasukinya. Syarat pertama adalah orang yang ingin memasuki makam harus dalam keadaan suci yaitu dengan cara berwudhu terlebih dahulu. Kedua, setelah berwudhu orang akan masuk ke makam PHG harus mempersiapkan dan membawa sebuah bunga melati yang sudah dibentuk seperti sebuah kalung atau dironce. Bunga melati yang telah dironce ini kemudian diletakkan di patok kuburan PHG. Patokan kuburan makam PHG ini merupakan dua buah Pohon Semboja. Sampai saat ini pohon tersebut menjadi patok kuburan sejak dari PHG dimakamkan di area Makam Sipule.
Syarat-syarat ini merupakan permintaan yang harus dipenuhi dan diminta langsung oleh PHG ketika priyai 27 melakukan tirakad dan mlebu sukma. Menurut cerita dari Mbah Parmin. Beliau sendiri pernah menyaksikan ketika pengunjung yang datang ke makam tersebut tidak memenuhi syarat-syarat di atas. Pada saat ditemukan oleh, pengunjung itu melakukan perilaku yang aneh. Pengunjung itu berjalan tanpa arah dan menabrak pohon-pohon dan patok-patok yang berada di area makam tersebut. Ketika Mbah Parmin menyembuhkan dan bertanya tentang apa yang terjadi kepada mereka. Mereka menceritakan bahwa lingkungan di sekitar mereka berwarna putih dan tidak dapat melihat apapun.
Setelah Kelurahan Nongkosawit ditetapkan oleh Pemerintah Kota Semarang melaui Surat Keputusan (SK) Walikota Nomor 556/407 tentang Penetapan Kelurahan Kandri dan Nongkosawit Kecamatan Gunungpati dan Kelurahan Wonolopo Kecamatan Mijen sebagai Desa Wisata Kota Semarang makam itu masuk dalam kategori wisata religi di Nongkosawit dan selalu ramai dikunjungi orang.
Tinggalkan Balasan